Home , , � Mengurai Pro-Kontra UU Pers No. 40 Tahun 1999 sebagai Lex Specialis

Mengurai Pro-Kontra UU Pers No. 40 Tahun 1999 sebagai Lex Specialis

foto: yudi.www.primaironline.com

Secara teori, pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia sesungguhnya telah diatur dalam Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam praktiknya, Undang-undang Pers yang mengatur dan memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers tersebut ternyata selalu berhadapan dengan pendekatan-pendekatan lain dari sisi hukum, termasuk adanya beragam penafsiran.

Di sinilah seringkali pelaksanaan kemerdekaan pers yang dijamin dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 harus menghadapi masalah-masalah teknis hukum, khususnya menyangkut kedudukan UU Pers sebagai lex specialis atau bukan lex specialis. Pro dan kontra (mendukung dan menolak) UU No. 40 Tahun 1999 sebagai lex specialis mengemuka dengan argumentasi yang sama kuat. Di satu sisi, menjadikan UU No. 40 Tahun 1999 Sebagai lex specialis adalah jaminan menegakkan kemerdekaan pers, namun di disi lain secara hukum—formal dan material—kedudukan UU No. 40 Tahun 1999 sebagai lex specialis dinilai oleh sebagian pihak belum memenuhi syarat dan memiliki banyak kelemahan.

Dari materi yang dikandungnya, UU Pers No. 40 Tahun 1999 sebenarnya telah menjamin kebebasan pers sebagai hak asasi warga negara dan wujud kedaulatan rakyat. Undang-Undang ini juga dengan tegas menolak sejumlah ancaman eksternal terhadap kebebasan pers, khususnya: (1) Penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 2); (2) Tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 ayat 3). Kepada siapa saja yang melakukan ancaman terhadap pers, menurut Pasal 18 ayat (1) dapat diancam hukuman paling lama dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta. Sementara itu, bagi perusahaan pers yang melanggar Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 13, menurut Pasal 18 ayat (2), diancam pidana denda paling banyak Rp 500 juta.

Selain melindungi kebebasan pers, asas tanggung jawab (responsibility) media terhadap publik juga dikandung oleh UU Pers. Dalam bekerja pers berpotensi melakukan kekeliruan hingga menyangkut kepentingan orang atau sekelompok orang. Bagaimanapun ketika persoalan ini terjadi, bukan berarti pers bisa bebas lepas dari pertanggungjawaban atas kekeliruan yang dilakukannya. Karena pers diwajibkan menyelesaikan persoalan ini sesuai ketentuan yang diperuntukkan kepada pers. Ketika persoalan terjadi akibat karya jurnalistik yang dihasilkan oleh pers, masyarakat berhak menuntut pers untuk mempertanggungjawabkannya. Dan persoalan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik, berupa Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai UU Pers. Karena itulah, UU Pers membatasi kebebasan pers dengan beberapa kewajiban hukum, antara lain:

a. Memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1);

b. Melayani hak jawab (Pasal 5 ayat 2), hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 ayat 11);

c. Melayani hak koreksi (Pasal 5 ayat 3), hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Pasal 1 ayat 12). Dalam praktiknya, beberapa media juga menggunakan lembaga mediator sendiri untuk persoalan yang diakibatkan karya jurnalistik, yakni ombusdman. Ombusdman yang akan membantu penyelesaian persoalan akibat pemberitaan dengan muaranya adalah dikeluarkan hakjawab dan hak koreksi oleh media yang dituduh bersalah.

d. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar (Pasal 6 ayat c);

e. (Wartawan) memiliki dan menaati kode etik (Pasal 7 ayat 2).

Menurut Sukardi (2007: 163), sejarah lex specialis di Indonesia dapat ditelusuri sejak zaman Belanda, yakni pada bulan Maret 1935, saat hakim Belanda M.L Swaab bertugas di Landgerecht Batavia (Pengeadilan di Batavia) membuat keputusan yang penting dalam sejarah hukum di Indonesia. Untuk memecahkan kebuntuan dari adanya konflik antar hukum (conflict of law) kala itu ia membuat terobosan. Saat itu ada dua kasus yang sedang berjalan sekaligus. Di satu pihak ada persoalan tuduhan mengenai penghinaan dan di lain pihak ada masalah penerapan droit de response (yang kemudian dikenal dengan hak jawab) yang kala itu diatur dalam Reglement op de Drunkwerken (Staatsblad 1856-74). Kemudian ia memutuskan bahwa lembaga hukum hak jawab dapat berjalan bersamaan dengan lembaga hukum lainnya seperti tuntutan pidana atas penghinaan. Sejak saat itulah di Indonesia mulai dikenal secara luas penerapan hukum khusus (lex specialis) dan hukum umum (lex generalis).

Pemecahan konflik antarhukum tidaklah sederhana. Banyak faktor yang mempengaruhi hukum mana yang harus dipilih. Untuk menghindari munculnya konflik hukum dalam masalah atau bidang tertentu, dibuatlah hukum yang bersifat khusus yang pengaturannya lebih spesifik, rinci dan lengkap. Setelah adanya hukum khusus ini, maka hukum khusus inilah yang berlaku. Dalam filosofi hukum pidana, terdapat semangat perlindungan terhadap hak asasi manusia. Terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana hak asasinya harus tetap dilindungi. Dalam penyelesaian masalah hukum, seringkali terjadi perbuatan hukum yang masih diberlakukan undang-undang lama tetapi ketika diperiksa dan diadili telah berlaku undang-undang yang baru pengganti undang-undang tersebut, maka jawaban yang berlaku atau dipakai adalah undang-undang yang menguntungkan terdakwa (Sukardi, 2007: 166).

Apabila perbuatan hukum yang terjadi sudah ada undang-undang baru tanpa mengubah undang-undang lama, maka dapat terjadi beberapa kemungkinan seperti adanya beberapa undang-undang yang berlaku pada suatu saat dan undang-undang yang baru memenuhi syarat sebagai undang-undang khusus maka harus diterapkan prinsip lex specialis derogat legi generalis, yakni undang-undang yang bersifat khusus menyingkirkan undang-undang yang bersifat umum. Dengan demikian, walaupun tanpa ada ketentuan yang tegas dalam undang-undang baru yang menyatakan undang-undang lainnya tidak berlaku, maka berdasarkan asas yang diberlakukan adalah undang-undang khusus.

Tidak semua undang-undang yang muncul belakangan dapat dianggap sebagai undang-undang yang khusus dan serta merta menyingkirkan berlakunya undang-undang yang umum. Begitu pula tidak semua undang-undang yang dibuat belakangan langsung menyingkirkan berlakunya undang-undang yang sudah ada. Agar sebuah undang-undang dinyatakan sebagai undang-undang khusus yang dapat menyingkirkan undang-undang yang umum harus memenuhi syarat-syarat tertentu, baik hukum materialnya (substansi) maupun hukum formal (hukum acara). Lalu, dalam kaitannya dengan hukum pers, dimanakah posisi undang-undang no. 40 tahun 1999 tentang pers? Dibandingkan dengan ketentuan undang-undang yang umum, dimana letak undang-undang tentang pers? Bahasan subbab berikut ini akan menguriakan lebih lengkap perdebatannya dilihat dari dua perspektif dan mendukung dan menonak kedudukan UU Pers sebagai lex specialis.

Argumen Pendukung UU No. 40 Tahun 1999 Tahun 1999 sebagai Lex Specialis

Para pendukung pendapat UU Pers bersifat lex specialis memiliki argumentasi bahwa sebuah UU tak perlu memiliki pernyataan eksplisit didalamnya bahwa ia merupakan UU dalam kategori lex specialis. Proses dan latar belakang penyusunan sebuah UU dapat digunakan untuk mengkategorikan apakah sebuah UU bersifat lex specialis atau bukan. UU Pers sejak awal sudah dimaksudkan untuk menangani perkara-perkara khusus, yang berkaitan dengan pemberitaan pers (Batubara, 2007; Pandjaitan dan Siregar, 2004). Selain itu, UU Pers terbatas dan khusus digunakan untuk menangani perkara “pelaksanaan kegiatan jurnalistik”, yaitu kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi (6M), baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik atau bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, televisi, radio dan segala jenis saluran lain yang tersedia. Karena hal-hal tersebut, maka UU Pers merupakan UU khusus. Berikut ini beberapa alasan/landasan epsitemologisnya (Pandjaitan dan Siregar, 2004: 31-168):

a. Alasan Teoritis dan Yuridis

Dari alasan teoritis dan yuridis, UU Pers sudah memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai lex specialis dengan berbagai alasan. Pertama, kegiatan jurnalistik merupakan hal khusus. Keberadaan UU Pers telah mengatur kegiatan jurnalistik tersebut secara khusus pula. UU Pers telah mengadopsi, mengakui, dan menerima teori-teori yang berkembang secara universal tentang pers dan profesi jurnalistik, yaitu dengan memasukkannya ke dalam batang tubuh undang-undang, seperti: nilai berita, keberimbangan berita, kebenaran berita, kode etik, objektivitas, independensi dan kredibilitas.

Kedua, UU Pers memuat mekanisme khusus untuk menangani permasalahan yang timbul akibat kegiatan jurnalistik. Karena kegiatan jurnalistik merupakan hal khusus, maka penyelesaiannyapun perlu didekati secara khusus pula. Hak jawab merupakan mekanisme yang telah diterima, diakui dan diwujudkan dalam UU Pers sebagai jalan keluar bagi permasalahan pemberitaan pers.

Ketiga, UU Pers hanya mengatur tentang kegiatan jurnalistik, mengingat kesalahan jurnalistik perlu diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik. Wartawan yang mencuri, kepadanya akan dikenakan KUH Pidana.

b. Filosofis

Secara filosofis, pers yang merdeka membutuhkan demokrasi sebagai ruang geraknya. Sebaliknya, kemerdekaan pers sebagai milik masyarakat yang berdaulat, dibutuhkan bagi kehidupan negara yang demokratis. Pengaturan dan penyelesaian masalah yang timbul akibat pemberitaan pers perlu diselesaikan dalam koridor demokrasi tersebut. Dalam hal ini, UU Pers diperlukan keberadaanya untuk menjamin berlangsungnya kemerdekaan pers dan demokrasi.

c. Historis – Politis

UU Pers adalah lex specialis secara historis dan politisnya. Mengingat UU Pers ini sendiri adalah hasil keputusan politik yang mengatur tata cara penyelesaian sengketan yang mungkin timbul karena pemberitaan dengan pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi, maka menurut mereka mengingkari UU Pers adalah ahistoris. Penyelesaian atas masalah yang timbul akibat pemberitaan pers melalui mekanisme jurnalistik ini adalah salah satu buah kemerdekaan pers dan demokratisasi yang timbul akibat gerakan Reformasi tahun 1998, yang membuka jalan dari pers otoriter menjadi pers yang merdeka.

UU Pers ditetapkan pada 23 September 1999 sebagai kontrak sosial yang baru negara terhadap warganegaranya dalam kegiatan pers. Karena itu penggunaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) juga ahistoris karena KUHPIdana adalah produk hukum lama yang merupakan warisan buatan penjajah Belanda terhadap negara jajahannya.

Substansi yang ada dalam UU Pers ini menempatkan pers dengan peran, fungsi, hak, dan kewajiban untuk selalu melalukan kontrol sosial dalam masyarakat, pasca reformasi yang mengakhiri pemerintahan otoriter mantan Presiden Soeharto selama 30 tahun. Maka itu kemerdekaan pers akan tetap menjunjung tinggi lancarnya proses reformasi dengan tetap konsisten melancarkan kritik terhadap pemerintah. Selain itu juga alasan mengapa pentingnya UU Pers sebagai lex specialis adalah tidak pernah adanya negara yang jatuh bangkrut karena menjamin kemerdekaan pers. Hal ini telah terbukti di beberapa negara yang telah menerapkan kemerdekaan pers untuk melakukan kontrol sosial sejak lama bahakn ratusan tahun dan mereka tetap bisa mau dan kaya.

UU Pers menganut doktrin komunikasi politik, yang dipahami sebagai hak publik untuk mempertanyakan setiap kebijakan atau keputusan seorang pejabat publik, tentang hal-hak yang menyangkut kepentingan publik, dan doktrin ini selalu menjadi bagian integral dari konsep kebebasan pers. UU Pers akhirnya menjadi sebuah keputusan politik yang mahal tapi tepat untuk menjamin kemerdekaan pers dan menjalankan fungsinya secara maksimal. Fungsi maksimal pers diperlukan karena Kemerdekaan Pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.

d. Alasan Sosiologis dan Empiris

Secara sosiologis dan empiris, terdapat aturan khusus yang ditaati oleh masyarakat dan insan pers untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers dengan menggunakan UU Pers. Selain berfungsi mengontrol, pers juga dikontrol oleh masyarakat;dan hal ini diamanatkan dalam UU Pers, karena itu pers harus jujur dan satria dalam melayani hak jawab dan hak koreksi. Namun dua hal ini banyak dinilai oleh masyarakat sebagai masih kurang baik, bahwa ada ketidakjujuran dan ketidaksatrian pers untuk menghormati dan menjalankan kewajibannya melayani Hak Jawab atau Hak Koreksi secara profesional bila ada masyarakat yang melakukan kontrol sosial atas pemberitaan persnya.

Selama kurun waktu dari April 2000 hingga Januari 2004, Dewan Pers telah melayani dan menyelesaikan lebih dari 499 surat pengaduan sebagai kontrol sosial dari masyarakat. Dalam melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi masyarakat, beberapa perusahaan pers di Indonesia seperti Grup Jawa Post, Kaltim Pos dan Samarinda Pos di Kalimantan Timur, Cendrawasih Post, selain itu Grup Fajar di Sulawesi Selatan dan beberapa koran nasional terkemuka yang berbasis di Jakarta seperti Kompas juga menggunakan Ombudsman (Pandjaitan dan Siregar, 2004). Dilihat dari data terbaru terkait pengaduan masyarakat, sejak tahun 2003 hingga september 2007, surat Batubara (2007: 56) mencatat, Dewan Perstelah menerima 709 surat pengaduan langsung ke dewan pers dan 556 surat pengaduan tembusan ke Dewan Pers.

Argumen Penentang UU No. 40 Tahun 1999 sebagai Lex Specialis

Selain pendukung, kelompok yang menolak memasukkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialis juga tidak kalah banyak jumlahnya. Mereka menolak dengan berbagai argumentasi (Sukardi, 2007: 177-186):

Pertama, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dilihat dari segi apapun sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai lex specialis karena tidak jelas menginduk pada undang-undang umum yang mana, apakah UU Pidana, UU Perdata, UU Administrasi Negara, atau UU lainnya. Begitu pula hukum acaranya yang digunakan tidak jelas mengacu kepada hukum acara yang mana.

Kedua, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri tidak pernah menyatakan bahwa UU ini bersifat khusus yang menyingkirkan yang bersifat umum

Ketiga, Baik isi maupun penjelasan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah jelas membuktikan UU ini bukanlah lex specialis derogat legi generalis. Ini terlihat dari adanya delapan indikasi dari UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri yang membantah UU isi sebagai lex specialis yang tidak lagi memerlukan peraturan di luar UU ini. Antara lain:

1. Pasal 13 huruf b. Menurut pasal 13 huruf b, perusahaan pers dilarang memuat iklan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya “sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.

2. Pasal 16. Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia “disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku”.

3. Penjelasan pasal 8 tentang perlindungan hukum kepada wartawan menjelsakan perlindungan wartawan dalam menjalankan fungsi, hak dan kewajiban dan perannya, “dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku”.

4. Penjelasan pasal 9 menegaskan, setiap warganegara berhak atas kesempatan yang sama dalam mendirikan perusahaan pers, “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

5. Penjelasan pasal 11 tentang modal asing juga menyebut dilaksanakan, “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

6. Penjelasan pasal 4 ayat 2 antara lain mengatakan “…siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

7. Alinea terakhir penjelasan umum juga menyebut, “Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengtur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.

8. Penjelasan alinea terakhir pasal 12 berisi, “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.

Keempat, Dalam keputusannya, Mahkamah Agung tidak pernah mengatakan bahwa UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah lex specialis. Dalam berbagai keputusannya, MA mengaskan bahwa UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah prevail atau ditumakana lebih dahulu dibandingkan dengan UU lainnya.

Kelima, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak hanya mengatur “pelaksanaan kegiatan jurnalistik” saja tetapi mengatur berbagai hal lainnya, seperti iklan, kesejahteraan wartawan, kegiatan perusahaan asing, dsb.

Keenam, Harus dibedakan antara keinginan menjadikan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers seharusnya lex specialis dengan kenyataan bahwa pengaturan tentang UU Pers ini tidak spesialis.

Ketujuh, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan UU yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia dan tidak khusus berlaku untuk kalangan pers saja. Oleh karena itu, penerapan UU juga harus memperhatikan keadilan bagi semua pihak dan tidak hanya keadilan bagi pers saja.

Penutup

Tuntutan menjadikan Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang pers sebagai lex specialis membawa perdebatan panjang. Pandangan pertama melihat bahwa Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers adalah undang-undang khusus yang menyingkirkan undang-undang yang bersifat umum. Sedangkan arus kedua justru berpendapat sebaliknya, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers sama sekali tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai undang-undang khusus yang dapat menyingkirkan undang-undang yang umum atau tidak dapat diterapkan asas lex specialis derogat legi generalis.

Menurut para pendukung Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialis, mereka yang mengabaikan pemakaian undang-undang tersebut sama saja dengan ingin mengembalikan keadaan kepada pemerintahan otoriter. Sebaliknya, menurut aliran yang menolak Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai undang-undang khusus yang menyingkirkan undang-undang lainnya, perumusan undan-undang ini merupakan produk yang buruk bahkan lebih buruk dibandingkan dengan sebagian besar undang-undang yang umum produk penjajah sekalipun.

Di satu sisi, ada pendapat yang menginginkan jalan tengah lainnya sebagaimana lazimnya di negara-negara yang menganut demokrasi, jaminan atas kemerdekaan pers ditegaskan dalam konstitusi, tidak diatur dalam UU khusus (Luwarso dkk., 2008; Luwarso dan Samsuri, 2003). Negara tetangga kita, Filipina dan Thailand, tidak memakai UU Pers untuk mengatur kehidupan pers, tetapi mencantumkannya dalam konstitusi. Jadi, tugas yang lebih penting adalah menggagas agar jaminan atas kebebasan pers dimasukkan ke dalam (perubahan) konstitusi. Idealnya UU Pers bisa berfungsi seperti The first amandement konstitusi Amerika, yang menjamin kemerdekaan pers sekaligus melarang upaya-upaya merongrongnya. Di luar fungsi itu, biarlah mekanisme pasar atau ketentuan hukum lain yang mengatur pers (seperti menggunakan KUHP untuk melawan pers-pers yang melakukan pelanggaran dalam domain kriminalitas). Jika jaminan atas kebebasan pers telah diatur dengan sepenuhnya dalam konstitusi, maka bukan saja revisi tak perlu, tetapi UU Pers malah tidak dibutuhkan.


[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta.

sumber:http://bincangmedia.wordpress.com/

0 comments to "Mengurai Pro-Kontra UU Pers No. 40 Tahun 1999 sebagai Lex Specialis"

Leave a comment