Home , , , , , , � Pancasila vs Al-Qur'an Al-Karim

Pancasila vs Al-Qur'an Al-Karim




1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Al Baqoroh Ayat 163.

وَإِلَـهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

"Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa ,Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang "

An-Nahl ayat 22

إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَالَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ قُلُوبُهُم مُّنكِرَةٌ وَهُم مُّسْتَكْبِرُونَ

"Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (Keesaaan Tuhan), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong."

2.Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab

An Nahl Ayat 90

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

"Sesungguhnya Tuhan menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Tuhan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."

3. Persatuan Indonesia

Ali Imron ayat 103

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali KeTuhanan, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Tuhan kepadamu ketika bermusuh-musuhan sehingga Tuhan mempersatukan hatimu sehingga kamu menjadi bersaudara karena nikmat Tuhan; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Tuhan menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Tuhan menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

4.Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan

Shaad ayat 20

وَشَدَدْنَا مُلْكَهُ وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ

"Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan."

'Ali Imron ayat 159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

"Maka disebabkan rahmat dari Tuhan-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Tuhan. Sesungguhnya Tuhan menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya"

5.Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Al-Maa'idah ayat 8

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (Keadilan) karena Tuhan, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Tuhan, sesungguhnya Tuhan Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Bhineka Tunggal Ika

Al-Hujurat ayat 13

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Tuhan ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Tuhan Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal"

mainsource:oleh Adzar Alistany Kadzimi pada 01 Juni 2011 jam 15:54

Komentar:



Kekosongan Ideologi Pancasila

Sejak reformasi 13 tahun silam, bangsa ini tidak lagi memiliki ideologi. Pancasila, satu-satunya ideologi negara ini, dicampakkan. Negara mengalami kekosongan ideologi. Padahal ideologi inilah sejatinya yang menjadi perekat utama bangsa ini.

Pancasila dibuang akibat cara-cara rezim Soeharto selama orde baru memaksakan ideologi perekat bangsa ini secara otoriter. Pancasila diindoktrinasi ke segenap generasi bangsa, dengan cara dipaksakan. Pancasila akhirnya hanya menjadi kode kekerasan yang menyerang psikologis bangsa.

Akibat indoktrinasi otoritarian seperti itu, ideologi agung Pancasila akhirnya diterima secara tidak alami dan penuh keterpaksaan. Akhirnya ada penentangan. Begitu reformasi diteriakkan, bukan cuma rezim yang dijatuhkan, tetapi Pancasila turut dibuang. Pancasila dianggap sebagai atribut rezim yang lalim.

Pada saat yang sama, para tokoh reformasi bereforia membelenggu Pancasila. Ideologi bangsa ini hanya dicentelkan sebagai atribut negara tanpa makna. Segera setelah itu, bangunan bangsa ditopang oleh ideologi baru yang diimpor dari luar. Perang ideologi pun terjadi.

Sistem dan tatanan pemerintahan tidak lagi menggali filosofi Pancasila sebagai satu-satunya sistem yang digunakan. Demokrasi yang ditemukan dan dibangun sama sekali keluar dari nilai-nilai Pancasila. Keinginan menyejahterahkan rakyat, membangun fondasi ekonomi tidak dipondasi oleh nilai kemanusiaan dan keadilan dalam Pancasila.

Perseteruan pun kembali terjadi. Perang ideologi berlangsung. Ideologi liberalisme, kapitalisme dan agama saling sikut. Masing-masing punya pengikut. Cara-cara kekerasan bahkan ditempuh untuk mengusung dan mematenkan ideologinya. Konflik ideologi diam-diam dipersenjatai hingga hari ini.

Pada detik yang sama, tokoh-tokoh bangsa sibuk membangun kekuasaannya sendiri dan mengambil keuntungan atas runtuhnya ideologi. Akhirnya Pancasila tetap terjerembab. Kekuatan elite yang ingin menegakkan kembali Pancasila tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Pancasila pun makin terpuruk.

Kepemimpinan SBY dalam dua periode juga tidak memberi tempat bagi hadirnya Pancasila di tengah-tengah masyarakat. Terjadi kekosongan ideologi. Pancasila hanya dokumen tanpa pelaksanaan. Pancasila hanya kata-kata tanpa makna. Pancasila hanya istilah tanpa implementasi. Pancasila tak memiliki tempat dan menghilang dari ruh bangunan bangsa ini.

Pancasila harus menjadi ideologi bangsa dan negara ini. Pancasila yang menyatukan, yang merekatkan, yang membangun, yang menyemangati, dan meneguhkan bangsa ini. Pancasila harus kembali mengisi ideologi bangsa dan negara dan menepiskan semua ideologi lainnya. Kita anamkan melalui pendidikan dan kebudayaan rakyat.

Penegakan Pancasila Hadapi Kendala Besar

Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyatakan ada kendala besar yang bersifat sistemik dalam upaya penegakan Pancasila.

"Kita menghadapi kendala besar yang sistemik dalam menegakkan Pancasila," kata Muzadi di Jakarta, Rabu.

Dikatakannya, saat ini sistem yang berlaku di Indonesia justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yang pada akhirnya menjadi kendala bagi penegakan ideologi negara tersebut.

"Misalnya, apakah penjualan aset-aset negara ke perorangan sesuai dengan sila kelima? Apakah otonomi/otonomi khusus sesuai dengan NKRI? Apakah carut marut hukum sekarang Pancasilais? Benarkah saat ini ada demokrasi kerakyatan, atau elitis bahkan transaksional?" katanya setengah bertanya.

Menurut Muzadi, semenjak lahir pada 1945 sampai sekarang, Pancasila sebenarnya belum membumi secara ideal optimal di Indonesia.

Pada 1948, sudah ada pemberontakan PKI Madiun yang berusaha membawa Indonesia ke dalam komunisme.

Selanjutnya ada DI/TII yang hendak mendirikan Negara Islam pada 1949. Pada tahun yang sama keluar maklumat Wakil Presiden dalam pembentukan multipartai yang membawa arus liberalisme.

"Sehingga Pemilu 1955 melahirkan konstituante yang berisi pertikaian ideologi antara negara Islam, negara Pancasila dan sosio demokrasi," katanya.

Akhirnya, kata Muzadi, pertikaian itu berujung kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Periode berikutnya yakni 1960 hingga 1966, Pancasila juga belum bisa diterapkan karena Indonesia berada dalam suasana revolusioner.

Pancasila, kata Muzadi, mulai diterapkan di era Orde Baru, hanya saja pelaksanaannya normatif artifisial, belum menyentuh kejiwaan bangsa, dan diterapkan dalam suasana stabilitas yang sentralistik.

Seharusnya, dengan lahirnya reformasi, Bangsa Indonesia perlu mengadakan "review" apakah sistem yang lahir telah sejalan dengan nilai-nilai yang dikehendaki Pancasila atau belum.

Namun, kenyataannya sejak memasuki era reformasi hingga sekarang, Pancasila justru semakin terpinggirkan.

"Didesak reformasi yang mempanglimakan demokrasi dan HAM tanpa keseimbangan dengan kewajiban kebangsaan," kata pengasuh Pondok Pesantrean Al Hikam Malang dan Depok itu.

Menurutnya, dibutuhkan kepemimpinan dan keteladanan dalam upaya penegakan Pancasila.

"Persoalannya faktor `leadership` dan keteladanan justru juga tidak menunjang penegakan nilai-nilai Pancasila," katanya.

Pancasila dan Komitmen

Tanpa Pancasila, warga Indonesia tidak dapat menjalankan kehidupan berbangsa dengan baik. Sayang, saat ini, ancaman kepada Pancasila semakin nyata seperti jelas terlihat dalam berbagai aksi terorisme yang mengatasnamakan agama.

"Banyak orang sekarang yang membela Tuhan, tapi menistakan manusia," kata peneliti The Wahid Institute, Rumadi, dalam acara launching Gerakan Nasional Tangkal Terorisme dan Radikalisme Agama yang diselenggarakan PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Kampus UIN Jakarta, Rabu (1/6).

Menurut Rumadi, sila Ketuhanan yang Maha Esa sering dipahami dengan kurang tepat. Hanya karena kata 'Maha Esa', orang yang beragama sering jatuh pada absolutisme dan merasa benar sendiri.

"Perlu juga dikembangkan dan disebarkan nilai-nilai ketuhanan yang adil dan beradab. Karena sesungguhnya, dalam nilai-nilai ketuhanan tersebut, ada dimensi kemanusiaan yang sangat luas," kata Rumadi.

Rumadi menambahkan, akar radikalisme agama adalah pikiran-pikiran intoleransi. Tidak ada gerakan radikal tanpa intoleransi. Untuk mengikis dan menghilangkan radikalisme dan terorisme, intoleransi harus dijauhkan bahkan dimusnahkan.

"Gagasan-gagasan intoleransi, yang cenderung menganggap orang lain sebagai musuh, sebisa mungkin harus diminimalisasi," demikian Rumad


Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid, di gedung DPR, Jakarta (Rabu, 1/6) mengingatkan, butuh komitmen dalam melaksanakan Pancasila. Komitmen ini penting sebagaimana komitmen untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

"Dengan komitmen seperti itu juga mereka akan tahu bahwa siapa yang mereka bela. Ketika mereka (SBY, Habibie, dan Megawati) berpidato, untuk siapa mereka berpidato," demikian kata Yenny. (IRIB/RMOL/Antara/AR/2/6/2011)


Pidato Lengkap BJ Habibie yang memukau

Jakarta - Mantan Presiden BJ Habibie mengungkapan secara tepat analisanya mengenai penyebab nilai-nilai Pancasila yang seolah-olah diabaikan pasca era reformasi. Tak heran bila pidato yang disampaikannya secara berapi-api itu memukau para hadirin puncak peringatan Hari Lahir Pancasila.

Acara itu dihadiri oleh Presiden Kelima Megawati dan Presiden SBY. Mereka berpidato bergiliran. Berikut ini teks pidato lengkap Habibie yang disampaikan dalam acara yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/6/2011).

Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.

Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.

Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.

Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?

Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?

Para hadirin yang berbahagia,

Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah "lenyap" dari kehidupan kita.
Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 -- 66 tahun yang lalu -- telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain:
(1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya;
(2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbangi dengan Kewajiban asasi manusia (KAM);
(3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap "manipulasi" informasi dengan segala dampaknya.

Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.

Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional' tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.

Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti Pancasila" . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!

Para hadirin yang berbahagia,

Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.

Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.

Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.

Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.

Para hadirin yang berbahagia,

Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah mengglobal sekarang ini?

Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru".

Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan "Neraca Jam Kerja" tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan "nilai tambah" berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari "biaya tambah"; dengan ungkapan lain, "value added" harus lebih besar dari "added cost". Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan' lagi dalam kehidupan kita.

Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Para hadirin yang saya hormati,

Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.

Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara.

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.

Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya, demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.

Wassalamu ‘alaikum wr wb.

(lh/nrl)
Follow twitter @detikcom dan gabung komunitas detikcom di facebook
mainsource:http://info-rahman.blogspot.com/2011/05/pidato-lengkap-bj-habibie-yang-memukau.html

Relasi Islam dan Nasionalisme : Menanti Pancasila

oleh Prof.DR.Muhsin Labib.MA pada 01 Juni 2011 jam 12:52

Di Jerman dan sejumlah Negara Eropa sedang berlangsung kampanye intensif melalui edaran-edaran dan situs-situs yang berisi ajakan dan desakan untuk memperlakukan Islam sebagai agama yang tidak diakui dan para penganutnya sebagai illegal. Ada upaya membentuk opini bahwa ke-musliman- seseorang menafikan nasionalisme dan cinta Negara. Bagaimana relasi Islam dengan nasionalisme?

Nasionalisme adalah pengindonesiaan dari nationalism, yang kadang diindonesiakan dengan ‘paham kebangsaan’. Nasi (nation) berarti bangsa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994:89), kata bangsa memiliki arti:
(1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri;
(2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan
(3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata bangsa diatas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat.

Dalam bahasa Indonesia, istilah nasionalisme memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan menngabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.
Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir di”, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik.

Dengan demikian, definisi nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Menurut para ahli, ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Inilah faktor yang melemahkannya. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Dalam sejumlah negara, kekhawatiran akan melemahnya nasionalisme mulai dibicarakan, termasuk Indonesia yang terus terancam oleh disintegrasi sejak era reformasi yang mulai diganti dengan wacana lokalisme akibat semangat ‘otonomi daerah’ yang kebablasan.

Para nasionalis menganggap negara sebagai institusi yang berdiri berdasarkan beberapa “kebenaran politik” (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu “identitas budaya”, debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.

Pada mulanya, nasionalisme dianut demi mementingkan hak-hak asasi manusia. Pada tahap selanjutnya nasionalisme menganggap kekuasaan kolektif yang terwujud dalam negara sebagai lebih penting daripada kemerdekaan individual. Kini terdapat ragam model nasionalisme. Yang utama adalah nasionalisme rasis (ultra-nalisme), nasionalisme agama, dan nasionalisme etnis.

Nasionalisme ditengarai sebagai produk gagasan sejumlah pemikir dan filosof Barat. Namun hal itu tidak sepenuhnya benar, karena pandangan Hegel, misalnya, hanya mewakili salah satu model nasionalisme. Pandangan Hegal tentang dapat menggiring sebuah pemerintahan menjadi pemerintahan fasis yang mengajarkan kepatuhan mutlak terhadap perintah dalam semua aspek kehidupan nasional. Menurut Hegel, kepentingan negara didahulukan dalam hubungan negara-masyarakat, karena ia merupakan kepentingan obyektif sementara kepentingan masing-masing individu adalah kepentingan subyektif. Menurutnya, negara adalah ideal (geist) yang diobyektifikasi, dan karenanya, individu hanya dapat menjadi sesuatu yang obyektif melalui keanggotaannya dalam negara.

Dalam sejarahnya, fasisme terkait erat dengan rasisme yang mengunggulkan sebagian ras (suku) atas sebagian yang lain. Hal ini melahirkan kecenderungan nasionalisme yang terlalu mementingkan tanah air (patriotisme yang mengarah pada chauvinisme), yang mendorong masyarakat Eropa melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah dunia lain.

Model kedua adalah nasionalisme agama yang berdiri di atas kesamaan agama. Di Irlandia, misalnya, semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama yaitu Katolik. Contoh lain adalah nasionalisme di India, yang dianut pengikut partai BJP, atas dasar kesamaan agama Hindu. Sejumlah partai di Eropa juga mengusung nasionalisme atas dasar kesamaan agama. Dalam realitasnya, nasionalisme keagamaan cenderung menimbulkan fanatisme dan fundamentalisme.

Bentuk lain dari nasionalisme adalah nasionalisme atas dasar kesamaan ras, seperti rezim Apartheid di Afrika Selatan sebelum diguling oleh Nelson Mandela dan mayoritas warga kulit hitam, dan nasionalisme Facisme yang dideklarasikan oleh Adolf Hitler yang menganggap ras Aria sebagai ras terunggul di dunia.

Ada pula nasionalisme yang dibangun berdasarkan semangat mengunggulkan state sebagai adidaya dan Negara yang merasa paling beradab, Bush dan sebagian Republikan, diyakini oleh banyak pengamat sebagai penganut nasionalisme imperialistik karena menganggap negaranya sebagai penguasa dunia sekaligus nasionalisme relijius karena selalu menjadikan kitab suci dan pandangan keagamaannya yang fanatik sebagai landasan keputusan pemerintahannya.

Terlepas dari ragam nasionaisme tersebut, polemik seputar relasi antara Islam dan nasionalisme di kalangan pemikir Islam masih terus bergulir. Ada yang menerimanya secara sejumlah justifikasi dari teks agama, seperti riwayat Nabi, ‘cinta Tanah Air adalah salah satu dari iman’. Ada pula yang menganggap posisi keduanya dikotomis.

Boleh jadi, penolakan terhadap harmoni agama dan nasioanlisme didasarkan pada beberapa alasan. Antara lain, pencampur-adukan pengertian administratif kata ‘bangsa’ (qaum) dan pengertian teologis kata ‘umat’ (ummah). Alasan lain adalah trauma sejarah yang diakibatkan oleh prilaku kaum nasionalis yang cenderung sinis terhadap Islam. Ada pula yang menentang nasionalisme karena ketidakmampuan membedakan antara nasionalisme yang berasis pada esksistensialisme dan nasionalisme yang didasarkan pada kewajiban syar’i (normatif dalam agama Islam) untuk membela kehormatan dan harta benda, termasuk wilayah tempat kita berada dan bermasyarakat. Yang jelas, penolakan terhadap nasionalisme akan membuka peluang munculnya pihak-pihak anti Islam untuk melukiskan bahwa umat Islam tidak commited.

Lalu, benarkah keduanya tidak bisa digabungkan?

Hasan al-Banna
, seorang tokoh pergerakan Islam, memaparkan bahwa apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan atau keberpihakan terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air dari penjajahan, ikatan kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain maka nasionalisme dalam makna demikian dapat diterima dan bahkan dalam kondisi tertentu dianggap sebagai kewajiban.
Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, senantiasa menekankan di hadapan rakyatnya tentang pentingnya memupuk kecintaan kepada Tanah Air karena mempertahankannya berarti melindungi harta dan kehormatan. Nasionalisme rasional yang bebas dari semangat merendahkan bangsa lain, menurutnya tidak bertentangan dengan semangat membela seluruh umat Islam bahkan seluruh pejuang keadilan dan kaum tertindas (mustadh’afin). Boleh jadi, pernyataan popular Mahmoud Ahamdinejad, Presiden Iran, ‘umat Islam adalah satu bangsa’ adalah bagian dari paradigma ini.

Tak disangkal, Islam menentang nasionalisme yang mengunggulkan ras atas bangsa lain, dan menentang tribalisme (perbedaan kaum), serta diskriminasi manusia.

Dalam sebuah hadis disebutkan, “Tidak termasuk golongan kami orang-orang yang menyerukan ‘ashabiyyah (fanatisme golongan), berperang karena ‘ashabiyyah, dan yang mati membela ‘ashabiyyah.”
Islam mengakui adanya bangsa-bangsa, namun ia juga memperlakukan seluruh Muslim dalam ragam bangsa, rasa, wilayah, dan budaya sebagai satu umat. Penduduk Islam di seluruh dunia dari ragam bangsa, dan ras melaksanakan dengan menghadap kiblat yang sama, berpuasa pada bulan Ramadhan serta menunaikan haji di Ka’bah. Karena itulah, penerjemahan umat dengan nation dalam bahasa Inggris adalah sebuah kesalahan mendasar.

Dalam bahasa Arab, ada dua kata yang terlihat mirip, yaitu ummah (umat) dan sya’b yang perlu dibedakan karena mengandung muatan yang memang berbedai.
Sya’b dan qaum berarti sekumpulan manusia yang memiliki kepentingan temporal untuk memperthanakan kesamaan dalam sebuah sistem pemerintahan yang disepakati seraya menghargai keragaman etnis, budaya dan bahasa di dalamnya. Itulah sebabnya, ada sebutan kaum Musa, kaum Nuh dan sebagainya. Peran dan area kepemimpinan masing-masing nabi memang berbeda. Namun, umat Islam sejak Nabi Muhammad saw diutus tidak lagi disebut kaum Muhammad karena area kepemimpinan beliau bersifat universal menerjang batas-batas ke-kaum-an. Mereka disebut umat Muhammad (ummatu Muhammad).

Meski demikian, nampaknya hal itu tidak secara otomatis menghilangkan ke-kaum-an (nationality) setiap Muslim. Kata sya’b (bangsa) pun memiliki cakupan yang lebih kecil dari umat. Itulah sebabnya, dalam bahasa arab tidak lazim kata ‘asy-sya’b al-Islami’. Karena itu, penggunaan istilah ‘Islamic Nation’ atau ‘Nation of Islam’ terasa dipaksakan.

Dalam literatur Islam, kata ummat secara etimologis dan semantik berasal dari kata imam, pemimpin keagamaan yang ditaati oleh muslimin di seluruh dunia. Umat adalah sekumpulan manusia yang mengikuti imam tanpa mempertimbangkan perbedaan kebangsaan, ras, daerah dan lainnya.

Alhasil, bila diperhatikan secara seksama, maka nasionalisme, sejauh bertumpu pada alasan yang rasional, tidak bertentangan dengan agama. Nasionalisme yang rasional tidak bertentangan dengan prinsip universalitas keumatan. Kebangsaan yang partikular tidak menafikan keumatan yang universal. Karenanya, minorits Muslim di Jerman dan lainnya mesti diperlakukan sebagai bagian integral dari warga Jerman. Pada saat yang sama mereka dan bangsa-bangsa lain yang juga beragama Islam, termasuk di Indonesia, adalah satu umat. Allah berfirman,”Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu.” Karenanya, mungkin tidak salah slogan
“Satu bangsa No, satu umat Yes”

Pancasila yang dilahirkan pada tanggal 1 Juni mungkin dapat dipandang sebagai prinsip bermasyarakat dan bernegara yang dihasilkan dari akal sehat yang direpresentasi oleh pihak-pihak dan tokoh-tokoh kompeten yang dengan kearifan demi menghadirkan sebuah society yang majemuk tanpa mengabaikan kekhasan elemen-elemen di dalamnya. Pancasila bila benar-benar diterapkan, maka hak setiap warga negara, terutama minoritas agama, aliran dan etnik, akan selalu terlindungi. Tapi, kenyataannya? Wallau a'lam
.


Sejarah PANCASILA


Semua tulisan yang anda baca dibawah ini disadur melalui buku Pendidikan PANCASILA, karangan R. Poerwanto Koesdiyo, penerbit GRAHA ILMU.

PENDAHULUAN

NAMA PANCASILA

Bagi bangsa Indonesia istilah Pancasila telah lama dikenal, yaitu sejak masuknya Agama Budha ke Indonesia. Karena di kalangan pemeluk Agama Budha dikenal adanya pembagian golongan dari para pengikutnya, yaitu:

  1. Golongan kaum preman, yaitu mereka yang biasa disebut Upasaka bagi pemeluk laki-laki dan Upasika bagi pemeluk wanita
  2. Golongan kaum pendeta, yaitu mereka yang ahli di bidang agama Budha dan disebut Bhiksu bagi pendeta laki-laki dan Bhiksuni bagi pendeta wanita.

Bagi kaum preman, dikenakan aturan tingkah laku yang sering dinamakan larangan yang jumlahnya ada lima dan dinamakan Pancasila yaitu:

  1. Menghindari Pembunuhan
  2. Menghindari Pencurian
  3. Menghindari Perzinahan
  4. Menghindari Kebohongan
  5. Menghindari makan dan minum yang memabukkan

Sedangkan bagi para pendeta, disamping terkena lima larangan yang disebut Pancasila, ditambah dengan lima larangan lagi, sehingga jumlahnya menjadi sepuluh dan dinamakan Dasasila. Adapun lima tambahan larangan bagi para pendeta tersebut ialah:

  1. Menghindari makanan yang berlebihan
  2. Menghindari hidup mewah
  3. Menghindari pakaian yang bagus-bagus, perhisan dan memakai wangi-wangian
  4. Menghindari tidur di tempat yang enak dan mewah
  5. Menghindari menerima uang atau memiliki perhiasan

Pancasila ciptaan Sang Budha Gautama ini karena dianggap sangat baik, pernah dipakai sebagai tuntunan akhlak (code of morality) bagi rakyat dari Kerajaan Asoka di India.

Dengan masuknya Agama Budha ke Indonesia, maka Pancasila inipun dikenal oleh rakyat Indonesia, bahkan Prabu Hayam Wuruk dari Majapahit masih melaksanakan Pancasila dengan patuh. Tetapi kemudian Pancasila ini lenyap dan tidak terdengar lagi. Kemungkinan yang menjadi salah satu penyebabnya adalah masuknya Agama Islam di Indonesia. Namun sisa-sisanya masih dapat ditemui dikalangan masyarakat suku Jawa yang dikenal dengan adanya lima larangan atau MO LIMO, yaitu:

  1. Dilarang membunuh (Mateni)
  2. Dialarang mencuri (Maling)
  3. Dilarang berjudi (Main)
  4. Dilarang minum yang memabukkan atau madat (minum/nyeret)
  5. Dilarang main perempuan (Madon)

Menurut penelitian Prof. A.G. Pringgodigdo menyatakan bahwa pada tanggal 1 Juni bukan hari lahirnya Pancasila melainkan hari lahirnya istilah Pancasila. Pernyataan Prof. A.G. Pringgodigdo ini dinyatakan pada ceramah beliau berjudul “Sekitar Pancasila” pada tahun 1970, setelah tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila selama 20 tahun. Sedangkan Pancasila itu sendiri menurut Prof. Pringgodigdo lahirnya bersamaan dengan lahirnya bangsa Indonesia

SEJARAH TERJADINYA PANCASILA

Apabila kita membicarakan sejarah terjadinya Pancasila sebagai dasar falsafah negara, kita tidak lepas daripada sejarah berdirinya NKRI yang dimulai pada waktu Pendudukan Jepang. Pada tanggal 9 Maret 1942, bala tentara Jepang menaklukan sekutu termasuk Belanda dan mendarat di Indonesia. Kedatangan Jepang ini disambut baik oleh Rakyat Indonesia yang telah lama ingin bebas dari penjajahan Belanda, karena Jepang pandai mengambil hati rakyat dengan menyatakan bahwa Jepang sebagai saudara tua bangsa Indonesia dengan untuk membebaskan saudara mudanya dari belenggu penjajahan Belanda. Hal ini cukup beralasan, karena pada mulanya Jepang membiarkan rakyat Indonesia mengibarkan Sang Merah Putih, serta boleh menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tetapi dengan semakin kuatnya kedudukan Jepang serta diperolehnya kemenangan Jepang dihampir setiap pertempuran, maka mulailah Jepang menindas rakyat Indonesia. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya undang-undang No. 3 tahun 1942 yang berisi larangan pengibaran Sang Merah Putih dan hanya bendera Jepang saja yang boleh dikibarkan, juga larangan menyanyikan Indonesia Raya.

Pada pertengan tahun 1944, situasi peperangan mulai berubah, karena Jepang mendapat tekanan dan kekalahan di mana-mana dari tentara Sekutu. Maka untuk mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang pada tanggal 17 September 1944 menjanjikan kemerdekaan kelak di kemudian hari, dan sebagai realisasinya maka pada tanggal 29 April 1945 yang bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang Tenno Heika, diumumkan tentang terbentuknya suatu badan yang bernama Dokuritsu Zyumbi Tjosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), badan ini beranggotakan 63 orang yang terdiri dari 62 orang Indonesia dan seorang Jepang, yaitu:

  1. Ir. Soekarno
  2. Mr. Moh. Yamin
  3. Dr. R. Koesoemah Atmadja
  4. R. Abdoelrahim Pratikrama
  5. R. Aris
  6. K.H. Dewantara
  7. Ki Bagoes Hadikoesoemo
  8. BPH. Bintoro
  9. AK. Moezakir
  10. BPH. Poeroebojo
  11. RAA. Wiranatakoesoema
  12. RR. Asharsoetedjo Moenandar
  13. Oei Tjang Tjoi
  14. Drs. Moh. Hatta
  15. Oei Tjong Hauw
  16. H. Agoes Salim
  17. M. Soetardjo Karthadikoesoemo
  18. RM. Margono Djojohadikoesoemo
  19. KH. Abdoel Halim
  20. KH. Maskoer
  21. R. Soedirman
  22. Prof. Dr. PAH. Djajadiningrat
  23. Prof. Dr. Soepomo
  24. Prof. Ir. R. Rooseno
  25. Mr. R. Pandji Singgih
  26. Ny. Maria Ulfah Santoso
  27. RMTA. Soerjo
  28. R. Roeslan Wongkoesoemo
  29. Mr. R. Sosanto Tirtoprodjo
  30. Ny. RSS. Soenarjo Mangioenpoespito
  31. Dr. R. Boentaran
  32. Liem Koen Hian
  33. Mr. J. Latuharhary
  34. Mr. R. Hindromartono
  35. R. Soekarjo Wirjopranoto
  36. Hadji A. Sanoesi
  37. AM. Dasaad
  38. Mr. Tan Eng Hoa
  39. IR. MP. R. Soerachman Tjokropranoto
  40. RA. Soemitro Kolopaking Poerbonegoro
  41. KRM. TH/ Woerjaningrat
  42. Mr. A. Soebardjo
  43. Prof. Dr. Djaenal Asikin Widjajakoesoema
  44. Abikoesno Tjokrosoejoso
  45. Parada Harahap
  46. Mr. RM. Sartono
  47. KHM. Mansoer
  48. Drs. KRMA. Sastrodiningrat
  49. Dr. Soewandi
  50. KHA. Wachid Hasjim
  51. PF. Dahler
  52. Dr. Soekiman
  53. Mr. KRMT. Wongsonegoro
  54. R. Oto Iskandar Dinata
  55. A. Baswedan
  56. Abdul Kadir
  57. Dr. Samsi
  58. Mr. AA. Maramis
  59. Mr. R. Samsudin
  60. Mr. R. Satromoeljono
  61. Dr. KRT Radjiman Wediodiningrat (sebagai ketoea)
  62. RP. Seroso (sebagai kedua moeda)
  63. Itjibangase (Residen Cirebon)

Selama hidupnya badan ini hanya bersidang dua kali masa sidang, yaitu sidang pertama tanggal 29 Mei 1945 sampai tanggal 1 Juni 1945 membicarakan Dasar Negara. Pada masa sidang pertama ini telah berpidato Mr. Muh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian Prof. Dr. Mr. Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945. Kemudian Mr. Muh. Yamin pada tanggal 31 Mei 1945 dan terakhir pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Sebelum sidang kedua, badan ini melalui panitia sembilan telah merumuskan suatu Naskah Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar tanggal 22 Juli 1945 yang kemudian terkenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter)

Rancangan ini kemudian dengan beberapa perubahan menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang kita kenal sekarang. Pada masa sidang kedua yaitu tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan tanggal 17 Juli 1945, Panitia Perancang Hukum Dasar juga telah berhasil menyusun rancangan Undang-Undang Dasar, yang kemudian menjadi Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang dikenal sekarang.

Yang perlu mendapat perhatian ialah, bahwa pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno (Bung Karno) mengucapkan pidatonya tentang Philosofische Grondslag atau landasan dasar falsafah negara, kemuadian pidato ini terkenal dengan nama “Pidato Lahirnya Pancasila”. Adapun istilah “Lahirnya Pancasila” ini ditulis oleh Dr. KRT Radjiman Wediodiningrat mantan Ketua BPUPKI sewaktu menulis kata pengantar yang Bertarich Walikukun (Kecamatan sebelah barat kota Madiun) tanggal 1 Juli 1974 bagi penerbitan buku kecil yang memuat pidato tersebut. Adapun dalam kata pengantar tersebut Dr. Radjiman antara lain menulis: “………Lahirnya Panjta Sila” ini adalah sebuah Stenografisch Verslag dari pidato Bung Karno yang diutjapkan dengan tidak tertulis dahulu (Voor de Vuist) dalam sidang jang pertama pada tanggal 1 Djuni 1945 ketika sidang membitjarakan Dasar (Beginsel) Negara kita, sebagai pendjelmaan dari angan-angannya. Sudah barang tentu kalimat-kalimat suatu pidato yang tidak tertulis dahulu, kurang sempurna tersusunnja. Tetapi jang penting ialah ISINJA.

Mulai saat itu setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila sampai dengan tanggal 1 Juni 1968. Kemudian sesudah tanggal 1 Juni 1968 tidak ada lagi peringatan lahirnya Pancasila, bahkan kapan Pancasila dilahirkan dan siapa pencipta atau penggalinya mulai diperdebatkan sampai terjadi polemik yang hangat.

Untuk jasa “menciptakan” Pancasila itu, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tanggal 19 September 1951 telah menganugrahkan gelar DOKTOR HONORIS CAUSA dalam bidang Hukum kepada Ir. Soekarno, namun pada waktu itu juga Soekarno menolak disebut sebagai Pencipta Pacasila karena Pancasila telah tergurat pada jiwa bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala. Untuk sekedar mengetahui gambaran tentang pendapat yang berbeda ini, marilah kita lihat sepintas pendapat-pendapat tersebut:

  1. Pendapat Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, S.H. dalam buku beliau Pantjasila dan/ dalam Undang-Undang Dasar 1945 antara lain berpendapat:……..Pertama-tama kita hendak kemukakan bahwa kalau kita (Bangsa Indonesia) hingga kini berbitjara tentang Pantjasila, maka jang kita maksudkan adalah tidak lain dari pidato Ir. Soekarno jang diutjapkan pada tanggal 1 Djuni 1945, dan bukan Pantjasila dari almarhum NEHRU atau Lima Pokok yang disebut almarhum Muh. Yamin dalam pidatonja pada tanggal 29 Mei 1945.
  2. Pendapat Dr. Moh. Hatta, dalam pidato beliau pada penerimaan Gelar DOKTOR HONORIS CAUSA dalam Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia tanggal 30 September 1975 antara lain berpendapat:……….Seperti kita diketahui, Pancasila lahir tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, sebagai jawaban atas Dr. KRT Radjiman Wedidiodiningrat. Pertanyaannya itu ialah: Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bentuk apa dasarnya?. Kebanyakan anggota panitia tidak mau menjawab pertanyaan itu. Mereka khawatir perdebatan tentang itu akan berlarut-larut menjadi diskusi filosofis. Mereka memusatkan pikirannya pada soal Pembentukan Undang-Undang Dasar. Salah Seorang yang menjawab pertanyaan itu ialah Bung Karno (Ir. Soekarno) dalam suatu pidato yang berapi-api yang lamanya satu jam. Dasar yang dikemukakannya disebut Pancasila.
  3. Pendapat Dr. H. Roeslan Abdulgani, dalam pidatonya di Dies Natalis ke XXI Universitas HKBP Nomensen pada tanggal 11 Oktober 1975 antara lain menyatakan:…….Penggalinya adalah Bung Karno dengan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam Sidang Panitia Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, Bung Karno tidak hanya menggali saja Lima Mutiara itu, melainkan merangkainya dalam suatu kesatuan “Weltanschauung” atau “Philosophische Grondslag”, dan yang beliau usulkan sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yang akan lahir.
  4. Pendapat Prof. A.G. Prianggodigdo, S.H. dalam ceramah beliau yang berjudul “Sekitar Pancasila” antara lain beliau berkata:………Maka saya memberanikan diri untuk menarik kesimpulan bahwa 1 Juni 1945 bukan hari lahirnya Pancasila, tetapi hari lahirnya istilah Pancasila. Sebab Pancasila sendiri sudah ada beberapa abad yang lalu, sehingga sekarang tentu tidak mungkin lagi menentukan lahirnya Pancasila.
  5. Pendapat Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, dalam bukunya yang berjudul Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara antara lain menyatakan:……Dari kesemuanya itu saya berkesimpulan, bahwa penggali-penggali utama dasar negara Republik Indonesia adalah Muhammad Yamin, Supomo dan Bung Karno (menurut urutan kronologisnya). Dengan demikian saya mencapai kesimpulan yang sama dengan Prof. Mr. Sunario di dalam rangka Panitia Lima, bahwa Bung Karno adalah salah seorang penggali Pancasila Dasar Negara.

Dari uraian para ahli diatas sampai sekarang belum ada ketentuan resmi yang menegaskan tentang kapan hari lahirnya Pancasila, bahkan dengan dikarangnya buku Prof. Nugroho Notosusanto mengundang polemik yang hebat dikalangan Sejarawan maupun sarjana dari berbagai disiplin ilmu di surat-surat kabar tahun 1981.

Yang jelas tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari lahirnya Pancasila secara Yuridis, karena pada tanggal tersebut PPKI mensahkan Pembukaan UUD (yang berisi Pancasila didalamnya) dan Batang Tubuh Undang-Undang NKRI, yang kemudian terkenal dengan nama UUD 1945. Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jendral Besar Terauchi Panglima Tertinggi Bala Tentara dari Nippon di Asia Selatan, menyetujui akan dibentuknya PPKI (Dokuristsu Zyumbi inkai) untuk seluruh Indonesia yang direncanakan dibentuk pada pertengahan bulan Agustua. Pada tanggal 9 Agustus 1945, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat menghadap kepada Jendral Terauchi di Saigon (sekarang bernama Ho Chi Minh) untuk menerima sendir keputusan tersebut Ir. Soekarno diangkat sebagai Ketua dan Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai Wakil Ketua dengan anggota sebanyak 19 orang, yaitu:

  1. Prof. Dr. Soepomo
  2. Dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat
  3. RP. Soeroso
  4. M. Sutardjo Kartohadikoesoemo
  5. KH. A. Wahid Hasyim
  6. Ki Bagus Hadikusumo
  7. R. Oto Iskandar Dinata
  8. Abdul Kadir
  9. Soejohamidjojo
  10. BPH. Poeroebojo
  11. Yap Tjwan Bing
  12. Latuharhary
  13. Dr. Amir
  14. Abd. Abbas
  15. Moh. Hassan
  16. AH. Hamidan
  17. Ratulangi
  18. Andi Pangeran
  19. Gusti Ktut Pudja

Kemudian setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, PPKI anggotanya ditambah atas tanggung jawab pribadi Ir. Soekarno dengan enam orang yang dapat mewakili seluruh Indonesia, yaitu:

  1. Wiranatakusumah
  2. Ki Hajar Dewantara
  3. Mr. Kasman
  4. Sajuti Melik
  5. Mr. Iwa Kusuma Sumantri
  6. Mr. Subardjo

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia, maka pada tanggal 18 Agustus 18 Agustus 1945 PPKI mensahkan Pembukaan UUD yang diambil dari Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan, mensahkan Batang Tubuh UUD yang diambil dari rancangan Hukum Dasar, dan memilih serta mengangkat Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama RI.

Dalam sejarah ketatanegaraan RI, UUD proklamasi yang terkenal dengan nama UUD 1945 berlaku dari 18 Agustus 1945 sampai tanggal 27 Desember 1949 sebab sejak tanggal tersebut bentuk negara kita berubah dari Negara Kesatuan menjadi Negara Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan menggunakan Undang-Undang Dasar yang lain yang dinamakan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) yang didalam Preambule-nya terdapat kelimat yang dinamakan Pancasila meskipun dengan rumusan yang berbeda. Syukurlah Negara Serikat atau Federal ini berumur sangat pendek, karena memang sejak Sumpah Pemuda dikumandangkan tahun 1928 bangsa indonesia menghendaki Negara Persatuan dan Kesatuan. Maka pada tanggal 17 Agustus 1950, mengumumkan bahwa kita kembali menjadi NKRI dan menggunakan KRIS dengan menghilangkan sifat federalnya menjadi UUDS 1950. Didalam UUDS 1950 inipun terdapat lima kalimat yang dinamakan Pancasila, yaitu rumusnya sama dengan rumusan yang terdapat dalam KRIS.

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarnao tanggal 5 Juli 1959, maka UUD 1945 yang sejak tanggal 17 Agustus 1950 tidak tidak jelas statusnya, kembali berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sehingga sejak saat itu sampai sekarang “Pancasila” yang resmi adalah seperti yang tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya Instruksi Presiden Soeharto Nomor 12 tanggal 13 April 1968 yang menyatakan bahwa Pancasila yang sah dan resmi adalah yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Namun perlu diingat bahwa kata “Pancasila” tidak tercantum tertulis dalam setiap UUD yang pernah berlaku, kecuali pada waktu diusulkan oleh Ir. Soekarno. Menurut Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, nama Pancasila itu telah terkokoh dalam sanubari seluruh rakyat Indonesia sehingga tidak ada masalah.

TEMPAT PANCASILA

Pancasila yang dimilik bangsa Indonesia ini sedemikian dalam mengakar pada setiap bidang kegiatan kehidupan bangsa, sehingga dapat juga digunakan sebagai dasar untuk mengatur negara. Hal ini terbukti bahwa sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang, kita telah menggunakan tiga buah UUD yang berlainan, namun setiap UUD tersebut tetap mencatumkan Pancasila dalam Pembukaan/Preambule-nya, meskipun dengan rumus yang berbeda.

Tempat Pancasila secara formal terdapat pada:

  1. Pembukaan UUD 1945, alinea ke IV: “…….maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia………”
  2. Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, alinea ke III: “……….maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk Republik Federasi, berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial…….”
  3. Mukadimah UUDS-1950, alinea ke VI: “………maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk Republik Indonesia, berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial……..”

RUMUSAN PANCASILA

Meskipun secara Yuridis kita berpegang kepada Rumus Pancasila dalam pembukaan UUD 1945, namun secara hirtoris dapat dikemukakan rumus yang berlainan sejak adanya sidang pertama BPUPK, sebgai berikut:

  1. Rumus dari Mr. Muh. Yamin yang dikemukakan beliau pada tanggal 29 Mei 1945 di muka sidang BPUPK mengenai “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” yaitu: (1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusiaan, (3) Peri Ketuhanan, (4) Peri Kerakyatan, (5) Kesejahteraan Rakyat. Kelima materi ini tidak diberi nama, dan pidato ini telah dipersiapkan lebih dahulu secara tertulis.
  2. Rumus dari Prof. Dr. Mr. Soepomo yang dikemukakan beliau pada tanggal 31 Mei 1945 dimuka sidang BPUPK mengenai Dasar Negara Indonesia Merdeka,yaitu: (1) Persatuan, (2) Kekeluargaan, (3) Keseimbangan lahir dan batin, (4) Musyawarah, (5) Keadilan rakyat. Kelima materi ini tidak diberi nama dan pidato ini ini juga telah dipersiapkan secara tertulis.
  3. Rumus dari Ir. Soekarno, yang dikemukakan beliau di muka sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 dengan judul Dasar Indonesia Merdeka,yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Kelima materi ini diberi nama oleh beliau “Pancasila” dan merupakan pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis, melainkan secara sponta dan lisan selama satu jam dengan pidato yang menarik.
  4. Rumus dari “Piagam Jakarta” tanggal 22 Juni 1945, sebagai hasil karya panitia Sembilan: (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  5. Rumus dari ” Pembukaan UUD 1945″, yang disahkan PPKI tanggal 8 Agustus 1945: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusian yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permuswaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
  6. Rumus dari ” Mukadimah Konstitusi RIS 1949 ” dan rumusan dari ” Mukadimah UUDS 1950 “: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Peri Kemanusiaan, (3) Kebangsaan, (4) Kerakyatan, (5) Keadilan Sosial.

Karena adanya rumus yang berlainan tersebut, maka sesudah terjadinya G. 30 S/PKI tahun 1965, sering ditemui rumus yang dicampuradukkan, misalnyaK:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Peri Kemanusiaan
  3. Kebangsaan
  4. Demokrasi
  5. Keadilan Sosial

Kadang-kadang urutan-urutan dari sila-sila Pancasila diputarbalikkan, sehingga untuk menertibkan rumus ini keluar Instruksi Presiden Soeharto No. 12 tahun 1968 yang menetapkan bahwa rumus Pancasila yang benar dan sah ialah seperti tencantum dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945. Dengan telah keluarnya Instruksi Presiden No. 12 tahun 1968 ini, maka tidak ada lagi keraguan-keraguan tentang rumus Pancasila yang benar dan sah.

mainsource:SELAMAT MEMBACA SEMOGA BISA DIAMBIL ILMUNYA



Relasi Islam dan Nasionalisme : Menanti Pancasila

oleh Prof.DR.Muhsin Labib.MA pada 01 Juni 2011 jam 12:52

Di Jerman dan sejumlah Negara Eropa sedang berlangsung kampanye intensif melalui edaran-edaran dan situs-situs yang berisi ajakan dan desakan untuk memperlakukan Islam sebagai agama yang tidak diakui dan para penganutnya sebagai illegal. Ada upaya membentuk opini bahwa ke-musliman- seseorang menafikan nasionalisme dan cinta Negara. Bagaimana relasi Islam dengan nasionalisme?

Nasionalisme adalah pengindonesiaan dari nationalism, yang kadang diindonesiakan dengan ‘paham kebangsaan’. Nasi (nation) berarti bangsa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994:89), kata bangsa memiliki arti:
(1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri;
(2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan
(3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata bangsa diatas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat.

Dalam bahasa Indonesia, istilah nasionalisme memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan menngabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.
Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir di”, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik.

Dengan demikian, definisi nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Menurut para ahli, ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Inilah faktor yang melemahkannya. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Dalam sejumlah negara, kekhawatiran akan melemahnya nasionalisme mulai dibicarakan, termasuk Indonesia yang terus terancam oleh disintegrasi sejak era reformasi yang mulai diganti dengan wacana lokalisme akibat semangat ‘otonomi daerah’ yang kebablasan.

Para nasionalis menganggap negara sebagai institusi yang berdiri berdasarkan beberapa “kebenaran politik” (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu “identitas budaya”, debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.

Pada mulanya, nasionalisme dianut demi mementingkan hak-hak asasi manusia. Pada tahap selanjutnya nasionalisme menganggap kekuasaan kolektif yang terwujud dalam negara sebagai lebih penting daripada kemerdekaan individual. Kini terdapat ragam model nasionalisme. Yang utama adalah nasionalisme rasis (ultra-nalisme), nasionalisme agama, dan nasionalisme etnis.

Nasionalisme ditengarai sebagai produk gagasan sejumlah pemikir dan filosof Barat. Namun hal itu tidak sepenuhnya benar, karena pandangan Hegel, misalnya, hanya mewakili salah satu model nasionalisme. Pandangan Hegal tentang dapat menggiring sebuah pemerintahan menjadi pemerintahan fasis yang mengajarkan kepatuhan mutlak terhadap perintah dalam semua aspek kehidupan nasional. Menurut Hegel, kepentingan negara didahulukan dalam hubungan negara-masyarakat, karena ia merupakan kepentingan obyektif sementara kepentingan masing-masing individu adalah kepentingan subyektif. Menurutnya, negara adalah ideal (geist) yang diobyektifikasi, dan karenanya, individu hanya dapat menjadi sesuatu yang obyektif melalui keanggotaannya dalam negara.

Dalam sejarahnya, fasisme terkait erat dengan rasisme yang mengunggulkan sebagian ras (suku) atas sebagian yang lain. Hal ini melahirkan kecenderungan nasionalisme yang terlalu mementingkan tanah air (patriotisme yang mengarah pada chauvinisme), yang mendorong masyarakat Eropa melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah dunia lain.

Model kedua adalah nasionalisme agama yang berdiri di atas kesamaan agama. Di Irlandia, misalnya, semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama yaitu Katolik. Contoh lain adalah nasionalisme di India, yang dianut pengikut partai BJP, atas dasar kesamaan agama Hindu. Sejumlah partai di Eropa juga mengusung nasionalisme atas dasar kesamaan agama. Dalam realitasnya, nasionalisme keagamaan cenderung menimbulkan fanatisme dan fundamentalisme.

Bentuk lain dari nasionalisme adalah nasionalisme atas dasar kesamaan ras, seperti rezim Apartheid di Afrika Selatan sebelum diguling oleh Nelson Mandela dan mayoritas warga kulit hitam, dan nasionalisme Facisme yang dideklarasikan oleh Adolf Hitler yang menganggap ras Aria sebagai ras terunggul di dunia.

Ada pula nasionalisme yang dibangun berdasarkan semangat mengunggulkan state sebagai adidaya dan Negara yang merasa paling beradab, Bush dan sebagian Republikan, diyakini oleh banyak pengamat sebagai penganut nasionalisme imperialistik karena menganggap negaranya sebagai penguasa dunia sekaligus nasionalisme relijius karena selalu menjadikan kitab suci dan pandangan keagamaannya yang fanatik sebagai landasan keputusan pemerintahannya.

Terlepas dari ragam nasionaisme tersebut, polemik seputar relasi antara Islam dan nasionalisme di kalangan pemikir Islam masih terus bergulir. Ada yang menerimanya secara sejumlah justifikasi dari teks agama, seperti riwayat Nabi, ‘cinta Tanah Air adalah salah satu dari iman’. Ada pula yang menganggap posisi keduanya dikotomis.

Boleh jadi, penolakan terhadap harmoni agama dan nasioanlisme didasarkan pada beberapa alasan. Antara lain, pencampur-adukan pengertian administratif kata ‘bangsa’ (qaum) dan pengertian teologis kata ‘umat’ (ummah). Alasan lain adalah trauma sejarah yang diakibatkan oleh prilaku kaum nasionalis yang cenderung sinis terhadap Islam. Ada pula yang menentang nasionalisme karena ketidakmampuan membedakan antara nasionalisme yang berasis pada esksistensialisme dan nasionalisme yang didasarkan pada kewajiban syar’i (normatif dalam agama Islam) untuk membela kehormatan dan harta benda, termasuk wilayah tempat kita berada dan bermasyarakat. Yang jelas, penolakan terhadap nasionalisme akan membuka peluang munculnya pihak-pihak anti Islam untuk melukiskan bahwa umat Islam tidak commited.

Lalu, benarkah keduanya tidak bisa digabungkan?

Hasan al-Banna
, seorang tokoh pergerakan Islam, memaparkan bahwa apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan atau keberpihakan terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air dari penjajahan, ikatan kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain maka nasionalisme dalam makna demikian dapat diterima dan bahkan dalam kondisi tertentu dianggap sebagai kewajiban.
Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, senantiasa menekankan di hadapan rakyatnya tentang pentingnya memupuk kecintaan kepada Tanah Air karena mempertahankannya berarti melindungi harta dan kehormatan. Nasionalisme rasional yang bebas dari semangat merendahkan bangsa lain, menurutnya tidak bertentangan dengan semangat membela seluruh umat Islam bahkan seluruh pejuang keadilan dan kaum tertindas (mustadh’afin). Boleh jadi, pernyataan popular Mahmoud Ahamdinejad, Presiden Iran, ‘umat Islam adalah satu bangsa’ adalah bagian dari paradigma ini.

Tak disangkal, Islam menentang nasionalisme yang mengunggulkan ras atas bangsa lain, dan menentang tribalisme (perbedaan kaum), serta diskriminasi manusia.

Dalam sebuah hadis disebutkan, “Tidak termasuk golongan kami orang-orang yang menyerukan ‘ashabiyyah (fanatisme golongan), berperang karena ‘ashabiyyah, dan yang mati membela ‘ashabiyyah.”
Islam mengakui adanya bangsa-bangsa, namun ia juga memperlakukan seluruh Muslim dalam ragam bangsa, rasa, wilayah, dan budaya sebagai satu umat. Penduduk Islam di seluruh dunia dari ragam bangsa, dan ras melaksanakan dengan menghadap kiblat yang sama, berpuasa pada bulan Ramadhan serta menunaikan haji di Ka’bah. Karena itulah, penerjemahan umat dengan nation dalam bahasa Inggris adalah sebuah kesalahan mendasar.

Dalam bahasa Arab, ada dua kata yang terlihat mirip, yaitu ummah (umat) dan sya’b yang perlu dibedakan karena mengandung muatan yang memang berbedai.
Sya’b dan qaum berarti sekumpulan manusia yang memiliki kepentingan temporal untuk memperthanakan kesamaan dalam sebuah sistem pemerintahan yang disepakati seraya menghargai keragaman etnis, budaya dan bahasa di dalamnya. Itulah sebabnya, ada sebutan kaum Musa, kaum Nuh dan sebagainya. Peran dan area kepemimpinan masing-masing nabi memang berbeda. Namun, umat Islam sejak Nabi Muhammad saw diutus tidak lagi disebut kaum Muhammad karena area kepemimpinan beliau bersifat universal menerjang batas-batas ke-kaum-an. Mereka disebut umat Muhammad (ummatu Muhammad).

Meski demikian, nampaknya hal itu tidak secara otomatis menghilangkan ke-kaum-an (nationality) setiap Muslim. Kata sya’b (bangsa) pun memiliki cakupan yang lebih kecil dari umat. Itulah sebabnya, dalam bahasa arab tidak lazim kata ‘asy-sya’b al-Islami’. Karena itu, penggunaan istilah ‘Islamic Nation’ atau ‘Nation of Islam’ terasa dipaksakan.

Dalam literatur Islam, kata ummat secara etimologis dan semantik berasal dari kata imam, pemimpin keagamaan yang ditaati oleh muslimin di seluruh dunia. Umat adalah sekumpulan manusia yang mengikuti imam tanpa mempertimbangkan perbedaan kebangsaan, ras, daerah dan lainnya.

Alhasil, bila diperhatikan secara seksama, maka nasionalisme, sejauh bertumpu pada alasan yang rasional, tidak bertentangan dengan agama. Nasionalisme yang rasional tidak bertentangan dengan prinsip universalitas keumatan. Kebangsaan yang partikular tidak menafikan keumatan yang universal. Karenanya, minorits Muslim di Jerman dan lainnya mesti diperlakukan sebagai bagian integral dari warga Jerman. Pada saat yang sama mereka dan bangsa-bangsa lain yang juga beragama Islam, termasuk di Indonesia, adalah satu umat. Allah berfirman,”Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu.” Karenanya, mungkin tidak salah slogan
“Satu bangsa No, satu umat Yes”

Pancasila yang dilahirkan pada tanggal 1 Juni mungkin dapat dipandang sebagai prinsip bermasyarakat dan bernegara yang dihasilkan dari akal sehat yang direpresentasi oleh pihak-pihak dan tokoh-tokoh kompeten yang dengan kearifan demi menghadirkan sebuah society yang majemuk tanpa mengabaikan kekhasan elemen-elemen di dalamnya. Pancasila bila benar-benar diterapkan, maka hak setiap warga negara, terutama minoritas agama, aliran dan etnik, akan selalu terlindungi. Tapi, kenyataannya? Wallau a'lam
.

mainsource:http://www.facebook.com/notes/muhsin-labib/relasi-islam-dan-nasionalisme-menanti-pancasila/10150273171625730

0 comments to "Pancasila vs Al-Qur'an Al-Karim"

Leave a comment